17 Oktober 2010

To Jazz or not to Jazz


Sebuah quote yang terkenal dari Shakespeare "to be or not to be" sering diplesetkan oleh orang yang keracunan Jazz seperti saya ini menjadi "to Jazz or not to Jazz". Kenapa? Ya, kalau bukan Jazz dengerinnya ga akan bisa masuk, lewat , bablas. Koleksi mp3 dan nada dering di HP saya pun 100% Jazz.

Beda orang tentu berbeda jalan hidupnya, berbeda hobbynya yang sudah tentu juga berbeda selera musiknya. Bagi saya yang orang biasa ini Jazz sudah menemani sejak lama mungkin dari sekitar tahun ’95-an, saat masa-masa sibuk begadang dan begadang ditemenin Jazz wuih dasyat sekali. Saat-saat komposisi Jazz yang mainstream/standard Jazz masih diputer di radio, saya ingat di masa itu ada Stasiun radio yang namanya Radio ARH 88.8 FM yang siarannya bener-bener nge-Jazz abis, mulai dari warta Jazz, bincang-bincang Jazz sampe semua lagu-lagu yang diputer semua Jazz. Dari situlah awalnya saya berkenalan dengan Jazz  dan parahnya sampe sekarang. 

Apakah Musik Jazz itu? 
Kalo browsing di internet atau nanya ke Google dengan kata kunci Jazz?Pasti sudah banyak yang menjelaskan apa itu definisi dan sejarahnya. Tapi di  tulisan ini, saya membahas Jazz dari sudut pandang saya pribadi.

Jazz banyak alirannya, jadi Jazz bisa berarti apa saja tergantung dengan aliran yang mana orang tersebut sering berinteraksi. Ada yang bilang Jazz itu asik untuk goyang, mungkin dia penggemar Acid Jazz atau Contemporary Jazz yang kalau kita jalan-jalan ke mall sering diputer jenis jazz seperti ini. Sssst, ada juga loh yang bilang Jazz bisa berarti sex. Wow, mungkin kebanyakan denger yang smooth jazz dengan alunan saxophone yang lembut seperti itu mungkin feel-nya langsung inget ke ranjang kali ya, hehehe.

Ada satu pengertian jazz yang saya suka, dikutip dari novel Seno Gumira Ajidarma: Jazz, Parfum, dan Insiden sbb…’Ketika penulis F. Scott Fitzgerald menyatakan abad Jazz pada tahun 20-an, ia mendefinisikan kata Jazz sebagai penjabaran suatu sikap. Anda tidak usah tahu musiknya untuk memahami rasanya-kita tidak usah menjadi ahli musik untuk menyukai Jazz, sehingga tidak penting Jazz itu apa yang penting kita dengar saja musiknya, rasa yang ditularkannya, emosi yang diteriakkannya, sehingga kita bisa mendengar rasa dalam bahasa suara. O ya, dalam Jazz saya lebih menyukai istilah ‘komposisi’ daripada ‘lagu’, sebab walau ada jazz vocal saya lebih menyukai jazz instrumental, jadi pada permainan instrumental jazz lebih enak kalo pake istilah komposisi (ikut mengutip dari ARH).

Ya, mendengar rasa dalam bahasa suara, itulah esensi indahnya Jazz menurut saya, betapa Jazz bisa tune in sama kuping dan perasaan saya, beat-beatnya beda tidak datar, aaah susah diterangkan dengan kata-kata. Makanya kalau orang yang tidak tahu Jazz kalau ke Toko CD atau ke lapak CD bajakan :D pasti merasa agak konyol kalau lihat ada album Jazz yang berjudul ‘Jazz for Late Midnight’ atau ‘Jazz for a Rainy Afternoon’, ‘Chocolate Jazz’, ya mungkin sang komposernya menciptakan komposisi-komposisi Jazz yang ada di album tersebut emang pas kalau dinikmati sesuai judulnya. Menurut pengalaman saya mengapresiasi Jazz selama ini, Jazz bisa indah bila suasana hati pas dengan komposisi Jazz yang didengarkan.  Kalau abis gajian biasanya memang saya suka nyetel koleksi CD yang agak-agak bosas seperti albumnya Michael Franks..nyantei bro, saat wiken paling cocok ditemenin permainan gitarnya  Lee Ritenour atau suara renyahnya Basia…rileks. Kalau denger komposisi ‘Sun Juan Sunset’-nya Lee Ritenour kayanya sambil merem jadi bisa ngebayangin romantisnya berdua dengan kekasih duduk ditepi pantai Sun Juan Puerto Rico yang indah, duduk berdekatan sambil menikmati matahari tenggelam di ufuk senja yang keemasan. ;D Tapi kalau pikiran lagi kusut banyak masalah tinggal cari-cari di internet radio, cari yang jazz standard yang maen bebop ganas, rasanya seperti berteriak tapi  tanpa suara, akhirnya lemes sendiri tapi nyaman dan pikiran tenang. Diam dan dengarkan, simak dan dengarkan, well..well..welll. Walaupun di hari-hari yang biasa tidak perlu pilih-pilih pokoknya manteng siaran/setel mp3 yang bergenre Jazz.

Tetapi walau demikian tetap ada batasan teknis bermusik tertentu yang membedakan sehingga Jazz itu Jazz bukan Pop, Klasik atau Dangdut. Kata para ahli, Jazz itu syncopasi dan improvisasi. Syncopasi itu berarti penekanan pada not-not upbeat (not-not dengan ketukan rendah), sedangkan improvisasi itu menambahkan nada-nada kreatif sendiri dalam komposisi yang dimainkan tanpa merusak komposisi aslinya - bahasa kerennya composing while playing. Walaupun ada teks partitur baku/kerangka not dari komposisi yang dimainkan tapi tiap musisi seakan bisa memainkan instrumennya secara akrobatik di sekitar kerangka itu, kadang menghilang entah kemana lantas kembali lagi, berbelok arah, berakrobat, terlihat kacau tapi tidak merusak. Tentu saja permainan dengan kekacauan ini hanya bisa dilakukan musisi yang sudah beres urusannya dengan segenap kaidah musikal, tapi mereka merasa segenap kaidah musikal saja tidak cukup  untuk menyalurkan kebutuhannya untuk bicara lewat instrumen musiknya.


Pada awal permainan dimana semua musisi bermain bersama mungkin belum kelihatan improvisasi itu, biasanya pada pertengahan permainan, ada session untuk menonjolkan kebolehan para tiap musisi dalam kepiawaiannya bermain alat musiknya sendiri tanpa diinterupsi oleh rekannya yang lain. Misalnya ada Quartet Jazz yang terdiri dari drum, gitar, piano, bass. Saat sang bassist unjuk kebolehan, gitaris-drummer-dan pianis bermain sebagai latar saja, bahkan berhenti total demi menonjolkan kebolehan sang bassist tadi. Nah, disinilah asiknya baru terasa improvisasi dalam Jazz emang tidak ada duanya. O ya, ada aturan tak tertulis kalau nonton Jazz, saat improvisasi satu musisi habis dan digantikan improvisasi musisi lain, saat itulah kita sang audiens diharapkan bertepuk tangan!Biar yang belon pernah nonton Jazz jadi tau nih.

So Jazz, JaZz or JazZ, huh?
Pernah denger radio Jazz? coba aja cari di internet radio, banyak. Tahan ga pindahin channelnya selama ya setengah hari deh tanpa pusing?Kalau ada yang bilang Jazz ribet, bikin pusing ya mungkin belum nemu aja indahnya dan juga ga bisa dipaksakan harus bisa nemu indahnya Jazz, tapi kalau sudah kena tebar racunnya, weleh-weleh, susah ganti yang lain.

Tapi, tau kan di Jakarta ada pagelaran Java Jazz festival? Pernah perhatiin iklannya?Terakhir yang dibesar-besarkan bintang tamunya adalah…. Kenneth Brian Edmont alias Baby Face dan Toni Braxton!Ga salah sih, mungkin untuk menarik perhatian orang yang belum kenal sama Jazz biar pada dating and jadi tau. Toh, artis seperti Glen Fredly sampe Slank pun ikut maen Jazz. Jazz adalah soal bermain Jazz bukan soal lagu apa atau lagu siapa yang dimainkan. Pernah ga lihat, Tompi nyanyi lagu Balonku ada 5 secara Jazz, atau almarhum Mbah Surip dulu sering ikut nyanyi Bangun Tidur terus Tidur lagi pada Friday Jazz Night di Pasar Seni. Itulah lagu apapun bisa di Jazz-kan.

Fenomena menumpang ketenaran artis pop untuk suatu event Jazz di Indonesia menurut saya adalah suatu keharusan!Meminjam istilah JK. Rowling, Jazz itu ibarat penyihir dan berdarah murni pula! Suatu komunitas kecil dan langka mungkin 1 diantara 1 juta muggle?Jika penyihir berdarah murni itu tidak kawin campur dengan muggle pasti lama-kelamaan akan punah, walaupun nantinya generasi yang akan dihasilkan tidak berdarah mrni lagi, bisa jadi penyihir berdarah lumpur pun tidak apa-apa bahkan squib sekalipun yang penting eksistensinya masih terjaga. He..he perumpamaan yang agak unik bukan?


Mengenalkan jazz secara massal ya begitulah? Jangan datengin yang alirannya mainstream dulu, harus ada Jimmy Cullumnya, Incognito, Belawan, dll. Kalau menurut saya karena Jazz menebar racun, kadar racunnya beda-beda ada yang dosis rendah sampe dosis tinggi. Kalo awal-awal sudah dosis tinggi ya bisa langsung semaput. Tapi menurut saya juga hal ini tidak bisa dipaksakan. Pilihan mendengarkan music itukan tergantung hati juga. Harapan saya sebagai penggemar Jazz sih cukup simple supaya kalo mo nonton Jazz ga perlu mahal-mahal, seperti jadi musik yang merakyat gitu deh. Kalo sudah langka jadi susah and jadi mahal kan?

Ah, membahas eksistensi jadi teringat nasib para penggagas Jazz  murni di Jakarta. Dulu waktu kerja di kota Bontang (1998-2002)saya pernah tersiksa gara-gara kekurangan ‘nutrisi’ Jazz di perasaan saya, akibatnya saya harus sering ke kota besar terdekat (Samarinda) yang berjarak 120 km hanya untuk ke Disc Tara (dulu Bontang masih sepi banget, Disc Tara atau toko yang jual kaset Jazz pun tak ada) atau sekedar nongkrong di pub sebuah hotel berbintang untuk mendengar Jazz. Tapi beruntung di Jakarta semua relatif murah bahkan gratis. Sebagai pengganti radio ARH yang sudah ‘mati’ program Jazz-nya, terpaksa harus jalan ke Ancol bila mau mencukupi nutrisi Jazz bagi perasaan saya. Dengan tiket 5rb masuk Ancol (tahun 2003-an) saya kembali pada hobi lama saya, nongkrong di ‘Friday Jazz Nite’ Pasar Seni, sambil nongkrong di pinggir laut atau lesehan di warung yang murah sambil makan pecel ayam dan teh manis hangat pun sudah bisa menikmati Jazz. Dan pada akhirnya, pada pertengahan 2003 tidak sengaja nemu Chanel aneh 99.9 FM CNJ Radio. Ini radio mantaff abis, 3 TU!menurut saya 90 % Jazz:10 % Classic and NO Commercial Break!Host-nya aja jarang ada. Full 24 jam nonstop Jazz (diselingi jam 21-24 Classic). Yang diputer mulai Dixie,swing, bebop, fusion, acid, smooth, lengkap. Tapi ya begitulah…Tragis!CNJ hanya mampu bertahan 5 tahun, pada tanggal 20.08.2008 ahirnya CNJ-pun tutup usia. Setelah ARH, CNJ pun akhirnya tidak bisa eksis lagi. Y itu tadi gara-gara idealis Cuma muter Jazz. Bahkan Friday Jazz Nite-pun lama juga mati suri. Mungkin dari th 2005, baru dihidupkan kembali pada pertengahan 2010 ini. Itulah eksitensi Jazz yang gratis di Jakarta, tidak ada yang bertahan lama. Padahal selama 5 tahun ada CNJ lumayan, nutrisi saya akan Jazz berkecukupan bahkan lebih, dan saya tidak perlu keluar uang untuk sekedar beli kaset/CD Jazz.



Untunglah sekarang koneksi internet semakin murah saja, mantengin internet radio tidak lagi mikirin pulsa. HP saya 6120c dengan kartu 3 paket 1GB sebulan (Rp38.500) sudah bisa cukup buat internetan dan mantengin internet radio selama 1 bulan (bukan promosi loh ya). Aaaaah!

Pertanyaannya: Mengapa Jazz susah disosialisasikan?
Kalau saya sih tidak punya kepentingan apapun, mau Jazz tersosialisasi kek atau engga kek toh sekarang mobile internet sudah murah. Kalo sudah hobby kan pasti ada aja cara mensiasatinya. Tapi ada juga loh yang saya rasa kesannya ada yang memaksakan Jazz harus memasyarakat. Malah dipaksakan agar terkesan elite dan ekslusif, acara seperti Jazz goes to Campuss saya rasa agak lucu juga. Soalnya belum pernah ada acara Dangdut goes to Campuss, Keroncong goes to Campuss,dll. Kalo elite jadi rada aneh mengingat sejarah Jazz yang kelam. Konon Jazz  lahir akibat kaum budak kulit hitam salah teknik dalam memainkan alat-alat music kaum kulit putih. Kalo ekslusif saya setuju juga sih, ekslusif itukan artinya tidak umum, terbatas. Jadi saya rasa jangan mimpi Jazz bisa akan segemerlap dan seramai musik pop.



Untuk sosialisasi, ya cukup mengenalkan ini loh ada jenis musik yang lain, musick yang personal, unik dan energik dengan beat-beat berloncatan yang tidak datar, kalo keracunan bisa bikin trans orang hanya dengan mendengarnya. Kalo anda seneng monggo, pilih sendiri jenis Jazz yang anda suka kalo kata anda bikin pusing yo wiss kita cuma kenalin aja.

Sekali lagi ini hanya catatan ringan orang yang keracunan Jazz yang  berharap dapat menikmai Jazz seperti menikmati kopi di pagi hari, simple….

                                                                                                              Bogor,16 Oktober 2010
 
Baca juga another Jazz article : Santai sejenak di Margo Friday Jazz 

2 komentar:

  1. Waduuuh 'bro....tulisannya bagus banget...pas untuk "mensosialisasikan" jazz...heuheuheu....ijin share...

    BalasHapus